Dia menatap gundukan makam itu dalam hening. Tanah basah yang terguyur hujan sepanjang malam kemarin penuh dengan tebaran bunga mawar dan melati. Udara panas menyengat pagi menjelang siang itu. Tapi tetap saja terasa dingin... mencekik paru-paru, namun tak membuatnya beranjak lalu. Matanya basah tapi bahunya tak bersedu sedan. Kaku yang merindu. Merindukan sesuatu yang tidak bisa ia jangkau kembali.
“Bu, maaf jika aku tak pernah bisa memenuhi janji itu..” dia bermonolog dalam hati di depan makam.
Dipejamkan paksa matanya yang panas untuk memeras air mata terakhir yang bisa ia hempaskan. Matahari makin menghujam, hingga bulir2 keringat meretas, membasahi serat-serat kerudung, menembus masuk ke kepala, ke otak, lalu ke jantungnya.
Di dada, terasa pahit, namun melegakan. Setidaknya dia merasa punya alasan untuk datang kembali ke tempat ini.
Sepenggalan waktu berlalu. Dia akhirnya beranjak pergi memunggungi gundukan tanah basah yang kembali sepi.
Dia tak kuasa mengingat kembali semuanya, saat beberapa bulan lalu, perempuan tua itu, menatapnya untuk yang terakhir kali, lalu bertanya dan memaksanya berjanji.
"Nanti...kalau Rashif sunat....disini aja ya..Ibu pengin liat Rashif sunatan disini"
Buliran bening berhamburan di pelupuk matanya. Pandangannya buram tertutup airmata.
Ibu.....
Satu kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa.
Ibu... adalah segalanya. ibu adalah penegas kita dikala lara, impian kita dalam resah, rujukan kita di kala nista.
Ibu... adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi.
Siapa pun yang kehilangan ibunya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa
merestui dan memberkatinya.
Sempatkah dia berucap maaf untuk yang terakhir kalinya kepada perempuan mulia yang melahirkannya? Sempatkah dia sentuh mata hitamnya yang tiada terlupakan? Sempatkah dia ungkap segala cinta di sepanjang hidupnya hingga dia pun telah menjadi seorang ibu?
Semua pertanyaan itu terbungkus dalam satu flash yang melintas dan menjepit syaraf-syaraf di otak dia hanya dalam hitungan, well... mungkin, millisecond. Hanya pertanyaan yang tanpa jawaban. Kosong menghampar pada nanar pandangannya, juga...mungkin hatinya...saat itu.
Sebenarnya, mana yang lebih kita takuti dari kematian: kehilangan apa-apa yang kita miliki sekarang, atau ketidaktahuan kita pada apa yang akan kita hadapi setelahnya? tidak, dia tak mau bertanya ataupun menjawab, dia telah menerimanya....dengan ihklas. Menerima untuk merasa tak memiliki siapa-siapa dan tak dimiliki siapa-siapa, berwujud pasrah, sebuah perasaan dengan titik terendah.
Lalu...Doa-doa pun didaraskan oleh semua orang yang menyayangi beliau membaluri seluruh jiwa dan raga yang seakan patah....
Ya Rabbi...
jagalah ibuku selalu...,
cintailah ibuku melebihi cintanya padaku
hadirkan selalu keridhaanMu, sebagaimana ibuku selalu menghadirkan kebahagiaan dalam relung jiwaku.
tuntunlah ibuku menapaki jalan surgaMu, sebagaimana ia selalu menuntunku tuk semakin mengenalMu.
dan baikkanlah akhir hayatnya, melebihi baiknya kemuliaan ahlak yang ia ajarkan padaku.