Loading...

Tampilkan postingan dengan label Kenangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kenangan. Tampilkan semua postingan

Kamis, Maret 25, 2010

.....Patah......



Dia menatap gundukan makam itu dalam hening. Tanah basah yang terguyur hujan sepanjang malam kemarin penuh dengan tebaran bunga mawar dan melati. Udara panas menyengat pagi menjelang siang itu. Tapi tetap saja terasa dingin... mencekik paru-paru, namun tak membuatnya beranjak lalu. Matanya basah tapi bahunya tak bersedu sedan. Kaku yang merindu. Merindukan sesuatu yang tidak bisa ia jangkau kembali.

“Bu, maaf jika aku tak pernah bisa memenuhi janji itu..” dia bermonolog dalam hati di depan makam.

Dipejamkan paksa matanya yang panas untuk memeras air mata terakhir yang bisa ia hempaskan. Matahari makin menghujam, hingga bulir2 keringat meretas, membasahi serat-serat kerudung, menembus masuk ke kepala, ke otak, lalu ke jantungnya.
Di dada, terasa pahit, namun melegakan. Setidaknya dia merasa punya alasan untuk datang kembali ke tempat ini.

Sepenggalan waktu berlalu. Dia akhirnya beranjak pergi memunggungi gundukan tanah basah yang kembali sepi.

Dia tak kuasa mengingat kembali semuanya, saat beberapa bulan lalu, perempuan tua itu, menatapnya untuk yang terakhir kali, lalu bertanya dan memaksanya berjanji.
"Nanti...kalau Rashif sunat....disini aja ya..Ibu pengin liat Rashif sunatan disini"

Buliran bening berhamburan di pelupuk matanya. Pandangannya buram tertutup airmata.

Ibu.....
Satu kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa.

Ibu... adalah segalanya. ibu adalah penegas kita dikala lara, impian kita dalam resah, rujukan kita di kala nista.
Ibu... adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi.
Siapa pun yang kehilangan ibunya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa
merestui dan memberkatinya.

Terbayang juga pendaran wajah tua itu, kala tertawa, saat berjalan tertatih2 dengan kaki yang mulai ringkih akibat penyakit diabetes yang di deritanya.
Sempatkah dia berucap maaf untuk yang terakhir kalinya kepada perempuan mulia yang melahirkannya? Sempatkah dia sentuh mata hitamnya yang tiada terlupakan? Sempatkah dia ungkap segala cinta di sepanjang hidupnya hingga dia pun telah menjadi seorang ibu?

Semua pertanyaan itu terbungkus dalam satu flash yang melintas dan menjepit syaraf-syaraf di otak dia hanya dalam hitungan, well... mungkin, millisecond. Hanya pertanyaan yang tanpa jawaban. Kosong menghampar pada nanar pandangannya, juga...mungkin hatinya...saat itu.

Sebenarnya, mana yang lebih kita takuti dari kematian: kehilangan apa-apa yang kita miliki sekarang, atau ketidaktahuan kita pada apa yang akan kita hadapi setelahnya? tidak, dia tak mau bertanya ataupun menjawab, dia telah menerimanya....dengan ihklas. Menerima untuk merasa tak memiliki siapa-siapa dan tak dimiliki siapa-siapa, berwujud pasrah, sebuah perasaan dengan titik terendah.

Lalu...Doa-doa pun didaraskan oleh semua orang yang menyayangi beliau membaluri seluruh jiwa dan raga yang seakan patah....


Ya Rabbi...
jagalah ibuku selalu...,
cintailah ibuku melebihi cintanya padaku
hadirkan selalu keridhaanMu, sebagaimana ibuku selalu menghadirkan kebahagiaan dalam relung jiwaku.
tuntunlah ibuku menapaki jalan surgaMu, sebagaimana ia selalu menuntunku tuk semakin mengenalMu.
dan baikkanlah akhir hayatnya, melebihi baiknya kemuliaan ahlak yang ia ajarkan padaku.
READ MORE - .....Patah......

Selasa, Agustus 11, 2009

Love Jogja and U....


Dalam sebuah gerbong Kereta Api Argo Lawu jurusan Jakarta - Yogyakarta.


Jarum jam masih berada di angka 10. 10 wib.


Sudah bermenit-menit aku memandangi dinginnya kaca buram dari dalam kereta yang basah namun sama, tanpa rasa. Butir hujan yang bermain-main di luar masih bulat utuh dan tak tersentuh. Hmm, nggak ada kecemasan, nggak perlu penantian, hujan kali ini turun dengan kepasrahan yang mengaggumkan. Begitu deras, begitu lepas, namun pasrah dan begitu indah.


Entah sudah berapa ratus kali ku buka majalah wanita - yang tadi aku beli di peron stasiun Gambir. Aku bolak balik halaman demi halaman dengan perasaan nggak karuan. Pun setiap orang yang lewat, sepertinya memandang haru padaku. Well, off course, that's because I'm the one who's sitting alone there.

Sudah beberapa minggu kemarin aku hadir dan eksis kembali di kota kelahiranku, Jakarta, yang sumpek, uyel-uyelan dan nggak kalah semrawut bin macet bak neraka, ( walaupun sebenernya aku belum pernah mampir kesana :p) . Bukannya belagu, after all, aku ngerasa kehilangan sesuatu aja.

Kangen dengan suasana Jogja yang adem ayem; banyak motor - walaupun agak macet tapi tidak crowded. Kangen saat senja, melihat begitu banyak orang pulang-setelah bekerja di kota- dengan menggunakan sepeda. Pemandangan yang tidak aku dapatkan di kota Jakarta.

Belum lagi rasa kangen ku dengan suasana Bebeng-Lereng Merapi yang hampir tiap sore aku sambangi sekedar menikmati udara sejuk disana atau melihat lava merah yang turun meleleh di puncaknya. Atau sekedar berjalan kaki di seputaran Malioboro sembari menikmati sepotong lumpia. Lalu singgah sejenak di alun alun utara menyeruput wedang ronde dan jagung bakar. mmm...nikmat.

Hujan masih menampakkan keanggunannya. Derai airnya terus bergulir di kaca gerbong ini. Ada segumpal udara beku aku hirup, pun rindu yang terbawa tak membuatku bergeming menatap hujan di luar sana.

Kebenaran kadang memang sukar di pahami dan hanya bisa kita rasakan. Seperti halnya rasa yang tanpa kita sadari bertumbuh, ketika kita coba meraba dan tergagap dalam usaha mendefinisikan cinta yang bersemayam di dalam dada.

Tapi, semua nggak berjalan sebagaimana yang aku duga. Walaupun kita satu, kita masih bicara dalam bahasa dan berada pada ruang dimensi yang berbeda. Tapi aku bahagia kok, paling tidak untuk memulainya, aku buang semua standar bahasa dan dimensi duniaku, dan aku rela melakukannya.

Well, life is just like taking picture, exposes for shadow and develop for highlight.
Jadi untuk memulainya sekarang, semua bait "walaupun" tadi akan menjadi tanggunganku. Dan dengan semua ketentuan Allah bagi kita aku akan mencoba ikhlas menerima kondisi itu. Seperti yang pernah dikatakan seseorang padaku dahulu, bahwa manusia beradab adalah juga yang tahu membalas budi. Dan aku berusaha memenuhi kebaikan itu, walau agak berbeda. Aku nggak tau sama sekali bagaimana aku harus membalas semua kebaikan yang telah menyentuh lubuk terdalamku.

Bersamanya, ya, bersamanya... aku merasa jadi manusia yang lebih baik, yang ikhlas, yang percaya bahwa cinta itu memaafkan, yang mampu untuk mengakui kekalahan, yang mampu menerima keadaan, yang mampu menolong siapapun yang membutuhkan, yang mengajarkan aku untuk tetap berdzikir dan mengingat bahwa diatas langit masih ada langit.

Awalnya aku meragu. Ternyata pria sesederhana inilah, yang mampu meruntuhkan tembok itu. Sehingga pada akhirnya aku menyerah, dan menerima bahwa mencintai pada akhirnya bukanlah menjadi satu pilihan melainkan menjadi sebuah keputusan.

Laju kereta pun melambat, makin melambat seiring bunyi keras peluit kereta. Tulisan Stasiun Tugu Yogyakarta pun jelas terbaca olehku. Ah, lega rasanya sampai di jogja lagi.
Bergabung dengan kerumunan orang dan tas bawaanku, aku bergegas melangkah menuruni tangga kereta.

Tiba tiba. Disana, di ujung sana....aku melihat seorang laki laki memakai kemeja flanel kotak kotak, yang dengan yakinnya menghampiri aku. Seorang laki laki sederhana dengan bola mata yang cahayanya mampu menenggelamkan dunia ku. Yang tiap tatapannya mampu menyusuri tiap mimpi-mimpi ku selama ini. Dia melambai dengan ceria.

Dan aku, aku merasa aman berjalan disisinya. Ku harap ia juga mau meniti jalan itu bersamaku.

Tuuh, kaann...gimana gak ' Love Jogja and u '.... cobaaa.....???


*Tuhan, beri kami hati untuk menerima segala sesuatu yang tidak dapat kami ubah, beri kami keberanian untuk merubah segala sesuatu yang dapat kami ubah, dan beri kami kebijaksanaan untuk membedakan keduanya....*


Jogjakarta, Januari 1995

READ MORE - Love Jogja and U....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Followers

©2009 Tisti Rabbani | by TRB