Suatu sore, di Basement Pusat Perbelanjaan di Jogjakarta
Wanita ini memakai blouse satin putih, dengan rok model pensil hitam berantai emas dipinggang, sungguh terlihat elegan, rambutnya panjang agak burgundy melewati bahu. Mata birunya samar terlihat karena dia membubuhkan eye-liner gelap.
Ditangannya teruntai gelang sewarna bumi yang sangat mencolok diatas kulitnya yang putih dan licin. Kukunya dihias sedemikian rupa. Sangat cantik. Jika dia melambaikan tangan sedikit saja, tak diragukan, setiap lelaki didepan situ, dijamin pingsan karena kecantikannya.
However, segala pandangan elegan, sophisticated, high-class, tak tersentuh, serta angkuh, seketika itu runtuh dipikiran ku. Dimana dengan tanpa merasa hina, melalui jemari ningratnya, wanita ini membantu mengangkat troli seorang tua yang sedang kesulitan menaiki tangga. Bahkan, troli itu kotor, besinya coklat dan berkarat. Ternganga, aku beku dan terpaku.
Kebaikan diatas, adalah kebaikan sederhana yang sangat samar (jarang diperdulikan) yang dilakukan oleh pelaku kehidupan yang juga samar (yang sama sekali tak perduli, apakah ada orang lain yang akan sadar atas kebaikan yang baru saja mereka perbuat).
Almarhum Bapak ku pernah bilang, bahwa yang dimaksud dengan sholeh itu adalah segala kebaikan, kebenaran dan ibadah yang bisa diaplikasikan langsung ke publik sehingga manfaatnya dapat dirasakan untuk kebersamaan.
Jadi, jika kamu beribadah sendiri, itu baik. Tapi lebih baik lagi jika kamu mengamalkannya sehingga kamu dapat berguna untuk orang lain. Dan akan sangat baik sekali jika dilakukan tanpa disadari oleh orang lain. Kurang lebih begitu. (waow, sulit)
Nah, aku baru menyaksikan sebagian kecil “kesalehan” itu dengan mata kepala ku sendiri. Dan perasaan yang aku rasakan saat itu sebenarnya malah bukanlah sesuatu hal yang terasa bungah (baca:senang) ataupun excited.
Kebalikannya, aku merasa kalo aku benar-benar sedih. Aku malu. Aku seolah terbantahkan. Aku bagai terlempar tak berguna ke sudut paling gelap dan sepi. Karena aku nggak merasa pernah melakukan kebaikan sederhana namun bermakna seperti itu.
Aku (baca : kita) terbiasa hidup dalam komunitas yang memerlukan kehinaan saudaranya sendiri untuk mendapatkan kejayaan. (bukankah begitu teman..?) Yang juga membutuhkan kehancuran sesama manusia didalamnya untuk memperoleh sesuatu yang kami kira: kehormatan.
Sehingga apapun bentuk kebaikan yang terwujud adalah bukan merupakan suatu kebaikan murni tersembunyi yang terasa begitu indah dan menyejukkan seperti tadi.
Mengutip kata Almarhum Cak Nurcholis Madjid : di Indonesia, “kebaikan” sukar berdiri sendiri dan murni sebagai kebaikan itu sendiri. Kebaikan selalu “dalam rangka”, “dalam pamrih”, “dalam niat-niat” lain yang tersembunyi, yang belum tentu bersifat baik.
(sigh…..) Sangat sedikit orang-orang di Indonesia yang mampu mengimplementasikan wujud keimanan dan kesalehan dalam kehidupan sehari-hari.
Kerongkoangan ku tercekat, semakin tercekat. Aku nggak perduli lagi aku ada dimana. Rasa malu ini sungguh menyesakkan dada. Memekakkan telinga. Melemaskan tenaga.
Hujan semakin deras dan keras. Segala istigfar dan airmataku ikut terbawa bulir-bulir air yang entah datang darimana. Air itu mungkin kepanjangan tangan dari langit, well, bisa jadi milik malaikat yang mengasihani ku saat itu. Ah, maafkan, maafkan hamba yang khilaf dari segala kebesaran-Mu, Tuhanku.